|
|
Kala Cakra |
Kamis, September 27, 2007 |
 Kala Cakra banyak dikaitkan dengan Rajah Kala Cakra. Kemunculan Rajah Kala Cakra banyak ditampilkan pada upacara adat Jawa berkaitan dengan tradisi ruwatan untuk menghilangkan atau menghindari adanya keburukan atau nasih sial yang mungkin akan menimpa seseorang. Bermula dari tulisan yang tergores di dada Batara Kala yang kemudian dapat dibaca oleh Batara Wisnu yang menyamar sebagai dalang Kandhabuwana. Akhirnya ditampilkan Rajah Kala Cakra dengan maksud agar Batara Kala yang diyakini sebagai pembawa sial mau mengikuti kehendak Batara Wisnu. Pada perkembangannya, Rajah Kala cakra kemudian diwujudkan sebagai mantra untuk mengenyahkan berbagai kekuatan magis jahat yang mengganggu kesentosaan lahir batin pada waktu berlangsung upacara ruwatan bagi para bocah sukerta. Dalam upacara ini, mantra Rajah Kalacakra dibaca berulang kali oleh ki dalang sewaktu memotong rambut bocah sukerta dan sewaktu memandikanya dengan air kembang. Adapun mantranya kurang lebih berbunyi seperti ini:
Hong ilaheng, Sang Hyang Kalamercu Katup, Sun umadep, Sun Umarep, Nir Hyang Kalamercu Katup, Nir Hyang Kala Mercu Katup, Nir Hyang Kala Mercu Katup.
YAMARAJA…JARAMAYA YAMARANI…NIRAMAYA YASILAPA…PALASIYA YAMIRODA…DAROMIYA YAMIDOSA…SADOMIYA YADAYUDA…DAYUDAYA YACIYACA…CAYASIYA YASIHAMA…MAHASIYA
Mungguh wis pada saguh Anggladi oyoting jati Sakmadyaning kuwat kulup Narima yen kataman Isin panggawe dudu Ninggalaken laku ngiwa Oleha hayu swarganipun Bagi kita yang hidup di era yang sudah didominasi oleh perkembangan sains, percaya atau tidak terhadap hal-hal yang bersifat magis adalah suatu perdebatan tersendiri. Suatu perdebatan yang tidak cukup terselesaikan melalui suatu obrolan singkat dengan ditemani satu cangkir kopi panas dan beberapa hisapan rokok. Sekali lagi, sebuah tradisi bukanlah merupakan suatu obyek yang patut diperdebatkan inti kebenarannya. Akan tetapi, nilai tradisi dan warisan yang melekat di dalamnya, adalah sebuah nilai lebih yang sangat berarti dibandingkan materi perdebatan yang ada. Sekalipun perdebatan yang terjadi melibatkan segenap akal sehat, sisi sains yang lebih berdasar pada logika, dan materi pengetahuan yang luas sebagai bahan debat. Kenyataannya, sebuah tradisi sangatlah sulit untuk dihapus begitu saja dalam satu sisi kehidupan manusia. Dan proses perdebatan, dengan atau tanpa hasil yang memuaskan, akan hilang dengan sendirinya ditelan Cakra Manggilingan yang selalu berputar. |
ditulis oleh: Sang Fajar @ 9/27/2007 04:09:00 PM  |
|
|
FreeBSD |
Sabtu, September 22, 2007 |
Lagi jengkel ama FreeBSD. Pokoke lagi jengkel wae, ga usah nanya alasane...... |
ditulis oleh: Sang Fajar @ 9/22/2007 03:53:00 PM  |
|
|
"SABDA JATI" anggitanipun R. Ng. Ranggawarsita |
Senin, September 17, 2007 |
 Hawya pegat ngudiya Ronging budyayu Margane suka basuki Dimen luwar kang kinayun Kalising panggawe sisip Ingkang taberi prihatos
Ulatna kang nganti bisane kepangguh Galedehan kang sayekti Talitinen awya kleru Larasen sajroning ati Tumanggap dimen tumanggon
Pamanggone aneng pangesthi rahayu Angayomi ing tyas wening Eninging ati kang suwung Nanging sejatining isi Isine cipta sayektos
Lakonana klawan sabaraning kalbu Lamun obah niniwasi Kasusupan setan gundhul Ambebidung nggawa kendhi Isine rupiah kethon
Lamun nganti korup mring panggawe dudu Dadi panggonaning iblis Mlebu mring alam pakewuh Ewuh mring pananing ati Temah wuru kabesturon
Nora kengguh mring pamardi reh budyayu Hayuning tyas sipat kuping Kinepung panggawe rusuh Lali pasihaning Gusti Ginuntingan dening Hyang Manon
Parandene kabeh kang samya andulu Ulap kalilipen wedhi Akeh ingkang padha sujut Kinira yen Jabaranil Kautus dening Hyang Manon
Yeng kang uning marang sejatining dawuh Kewuhan sajroning ati Yen tiniru ora urus Uripe kaesi-esi Yen niruwa dadi asor
Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung Anggelar sakalir-kalir Kalamun temen tinemu Kabegjane anekani Kamurahane Hyang Manon
Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun Yen temen-temen sayekti Dewa aparing pitulung Nora kurang sandhang bukti Saciptanira kelakon
Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur Saka pengunahing Widi Ambuka warananipun Aling-aling kang ngalingi Angilang satemah katon
Para jalma sajroning jaman pakewuh Sudranira andadi Rahurune saya ndarung Keh tyas mirong murang margi Kasekten wus nora katon
Katuwane winawas dahat matrenyuh Kenyaming sasmita sayekti Sanityasa tyas malatkunt Kongas welase kepati Sulaking jaman prihatos
Waluyane benjang lamun ana wiku Memuji ngesthi sawiji Sabuk tebu lir majenum Galibedan tudang tuding Anacahken sakehing wong
Iku lagi sirap jaman Kala Bendu Kala Suba kang gumanti Wong cilik bisa gumuyu Nora kurang sandhang bukti Sedyane kabeh kelakon
Pandulune Ki Pujangga durung kemput Mulur lir benang tinarik Nanging kaseranging ngumur Andungkap kasidan jati Mulih mring jatining enggon
Amung kurang wolung ari kang kadulu Tamating pati patitis Wus katon neng lokil makpul Angumpul ing madya ari Amerengi Sri Budha Pon
Tanggal kaping lima antarane luhur Selaning tahun Jimakir Taluhu marjayeng janggur Sengara winduning pati Netepi ngumpul sak enggon
Cinitra ri budha kaping wolulikur Sawal ing tahun Jimakir Candraning warsa pinetung Sembah mekswa pejangga ji Ki Pujangga pamit layoti
kaserat wonten ing dinten Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802 (1873M) |
ditulis oleh: Sang Fajar @ 9/17/2007 02:46:00 AM  |
|
|
Kenapa Gempa 7,9 SR Tidak Memunculkan Tsunami Dahsyat? |
Sabtu, September 15, 2007 |
Alarm peringatan tsunami berbunyi saat gempa berkekuatan 7,9 SR mengguncang pesisir barat Pulau Sumatera. Ancaman itu begitu nyata karena pusat gempa berada di laut dengan kedalaman hanya 10 km. Warga Bengkulu dan Padang panik. Mereka pun berlarian menjauhi pantai mencari tempat yang lebih tinggi. Namun setelah beberapa lama, peringatan tsunami dicabut. Gelombang pasang yang tercatat di pesisir Padang hanya setinggi 90 cm. Pertanyaan pun timbul, kenapa gempa berkekuatan lebih kecil 6,5 SR dapat menimbulkan tsunami di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, pada 17 Juli 2006. Sedangkan kali ini tidak? Rasa syukur pun terucap. Tapi fenomena ini butuh penjelasan agar di kemudian hari peringatan tsunami mempunyai presisi yang lebih tinggi. Peneliti Irwan Meilano yang sehari-hari beraktivitas di Pusat Penelitian Seimologi, Vulkanologi, dan Mitigasi Bencana Universitas Nagoya, Jepang, mencoba untuk menjelaskan fenomena ini. Irwan mengungkapkan ada 2 syarat yang luput, sehingga tsunami di pantai Padang dan Bengkulu tidak sedahsyat di Aceh atau Pangandaran. Irwan menjelaskan gelombang tsunami terbentuk sebagai akibat pengkatan vertikal dari kerak bumi sebagai akibat dari penyesaran naik (thrust faulting) dari gempa. Pada gempa Bengkulu 2007, tsunami yang dihasilkan tidaklah setinggi gempa Pangandaran 2006, yang memiliki magnitud lebih kecil. Hal ini disebabkan karena bidang sumber dari gempa Bengkulu berjarak relatif jauh dari lokasi transisi lempeng (trench). "Sehingga gerak penyesaran naik pada transisil lempeng tidaklah besar," ujarnya. Lebih lanjut, Irwan mengatakan sumber gempa (jarak 100 km dari transisi lempeng) kedalaman laut sangatlah dangkal, yaitu kurang dari 1500 m. Hal ini diperlihatkan dengan adanya barisan kepulauan di utara sumber gempa (Kepulauan Mentawai) dan Pulau Enggano di selatan. "Pada laut yang dangkal, walaupun terdapat pengangkatan vertikal, tetapi karena volume air yang terangkat sedikit, maka tidak efektif dalam menghasilkan tsunami yang tinggi," bebernya. Dalam kaidah ilmu gempa bumi (seismologi), menurut Irwan, gempa tsunami (tsunami earthquake) sering disebut juga dengan gempa perlahan (slow earthquake). Hal ini disebabkan karena ciri khas dari gempa tsunami, yaitu proses robeknya bidang gempa sangatlah perlahan apabila dibandingkan dengan gempa pada umumnya. Kecepatan robeknya bidang gempa untuk gempa Bengkulu 2007 yaitu 2.5-3 km/detik, dengan lamanya proses gempa yaitu 90 detik. Sedangkan gempa Pangandaran yaitu 0.5-1.5 km/detik. Gempa Nias tahun 2005 lebih cepat lagi yaitu 2.7-3.3 km/detik, sedangkan gempa Aceh yaitu 1.8-3.2 km/detik. "Sehingga gempa di perairan Bengkulu tidak dapat dikategorikan sebagai slow earthquake," terang Irwan. Persayaratan gempa yang dapat menghasilkan tsunami adalah: 1. Mekanisme penyasaran naik (vertikal); 2. Memiliki magnitud lebih dari 7 SR; 3. Kecepatan robeknya gempa yang perlahan; dan 4. Berada dalam kedalaman yang dangkal (berlokasi dengan transisi lempeng. "Pada gempa Bengkulu tanggal 12 september 2007 lalu, syarat ke 3 dan ke 4 tidak terpenuhi. Sehingag walaupun menghasilkan gelombang tsunami, ketinggian gelombang tersebut jauh lebih rendah dari gempa pangandaran 2006," pungkas Irwan.
sumber: detik.com |
ditulis oleh: Sang Fajar @ 9/15/2007 09:47:00 AM  |
|
|
|
Tentang Aku |
Name: Sang Fajar
Home: Bojonegoro, Yogya, Papua, Jatim - DIY - Papua, Indonesia
About Me: Bagi mereka yang merasa berjasa, aku hanyalah sampah. Bagi mereka yang merasa intelek, aku hanyalah pembual. Bagi mereka yang merasa suci, aku hanyalah kotoran. Bagi mereka yang merasa terhormat, aku tak lebihnya seperti orang jalanan. Bagi mereka yang merasa pernah mengenalku, aku sepertinya sudah tak ada. Namun diantara semua anggapan yang pernah ada, semua tentang aku ada karena anggapan-anggapan yang pernah ada......
Data Lengkap
|
Tulisan Terdahulu |
|
Arsip |
|
Links |
|
Facebook |

|
|