|
|
RAJU DAN NURANI |
Minggu, Maret 05, 2006 |
Sejak reformasi, kita sering menyaksikan berbagai hal yang tidak masuk akal sehat. Mulai dari aparat menembaki mahasiswa, mahasiswa meludahi muka polisi, sampai ke maling yang dibakar hidup-hidup, atau dua kelompok agama saling berbunuhan selama bertahun-tahun.
Tidak hanya itu, ada orang-orang yang dengan santai memasang bom pada dirinya, membunuh ratusan orang tak berdosa bersama dirinya. Kebanyakan manusia normal tentu tersentuh nuraninya atas berbagai peristiwa itu.
Meski demikian, selama ini para pakar (termasuk saya) masih mencari upaya untuk menjelaskan, mengapa semua kekerasan di luar akal sehat itu bisa terjadi. Ada yang berteori tentang ketidakadilan, kecemburuan sosial, bangsa Indonesia tidak siap berdemokrasi, dampak Orde Baru, bahkan menyalahkan pemerintah kolonial Belanda dan Jepang, dan sebagainya. Tetapi, kasus pengadilan Moh Azuar alias Raju di Medan membuat mata saya terbuka lebar karena... ngeriiii....
Ada yang salah
Raju adalah bocah umur tujuh tahun lebih, yang berantem (biasa dilakukan oleh hampir tiap anak laki-laki) dengan kakak kelasnya yang berumur 14 tahun, dua-duanya babak belur (ini pun biasa), dan kedua orangtua pun berunding (ini juga biasa).
Namun, bapak lawan lapor ke polisi (ini mulai aneh), lalu polisi menangkap Raju (...haaah...?), kemudian polisi mengajukan ke jaksa (kok makin aneh?), dan jaksa ke pengadilan. Yang paling super ajaib, hakim tetap mengadili Raju dengan tata cara persis seperti mengadili preman (termasuk mencampurkannya dalam sel tahanan orang dewasa), atau mantan direktur bank yang korupsi, meski ada UU Perlindungan Anak dan (kalau tidak salah, maklum bukan pakar hukum) sudah ada UU tata cara pengadilan anak.
Jelas Raju menangis menjerit-jerit ketakutan. Tidak perlu seorang psikolog, seorang buta huruf pun tahu, Raju trauma berat, malah histeris. Tetapi hakim memerintahkan sidang peradilan jalan terus karena kata hakim "begitulah yang diharuskan oleh hukum".
Di mata hakim, Raju dinyatakan sehat, tidak ada masalah, hakim justru menyalahkan pers yang seakan-akan merekayasa adegan-adegan tangis.
Yang mengerikan, para hakim, panitera, jaksa, dan polisi (semua yang terlibat pemrosesan hukum itu) adalah orang-orang biasa. Artinya, bapak/ibu biasa, punya dan sayang keluarga dan anak-anak, bukan politisi yang haus kekuasaan, atau calon artis frustrasi yang haus popularitas, atau koruptor yang mengejar duit, atau provokator, atau demonstran bayaran. Mereka adalah orang-orang biasa yang hanya menjalankan tugas. Titik!
Namun, ketika suatu tugas dijalankan dengan baik justru menimbulkan masalah lain. Di sini tentu ada yang salah. Apa yang salah? Dalam kasus ini, jelas tidak lagi bisa diterangkan dengan teori kecemburuan sosial, atau pertentangan kelas atau warisan Orde Baru atau sejenisnya.
Hilangnya nurani
Menurut saya, yang salah adalah nurani yang hilang. Seluruh bangsa terusik nuraninya saat menyaksikan di layar TV, Raju menangis ketakutan di gendongan ayahnya. Tetapi hakim-hakim cuek saja, meneruskan persidangan! Ke mana nurani para hakim, panitera, dan semuanya? Hilang ditelan bumi. Yang tertinggal adalah akal belaka. Akal tanpa nurani tidak bisa menjadi akal sehat, tetapi jadi akal- akalan (istilah psikologinya: Rasionalisasi).
Nah, jika aparat-aparat hukum yang orang-orang biasa itu sudah kehilangan nuraninya, jangan-jangan memang kita semua, bangsa Indonesia, sudah kehilangan nurani, dan bisanya hanya akal-akalan. Karena itu, orang menganggap benar saja melanggar lalu lintas, atau membakar maling hidup-hidup, mengamuk kalau calon kepala daerahnya tidak terpilih, membunuh orang hanya karena agama atau etniknya lain, bahkan seorang perwira menengah TNI AL bisa membunuh istri dan hakim yang sedang mengadilinya, di tengah kerumunan penonton.
Ke mana gerangan hati nurani? Mungkin itu yang menyebabkan tak seorang presiden pun bisa mengendalikan bangsa ini. Padahal kita pernah punya presiden yang tentara, profesor, kiai, wanita, dan balik lagi ke tentara yang doktor. Mungkin kita harus menunggu turunnya malaikat Jibril untuk mengatur republik ini.
Sarlito W Sarwono Guru Besar Psikologi UI |
ditulis oleh: Sang Fajar @ 3/05/2006 07:43:00 AM  |
|
|
|
Tentang Aku |
Name: Sang Fajar
Home: Bojonegoro, Yogya, Papua, Jatim - DIY - Papua, Indonesia
About Me: Bagi mereka yang merasa berjasa, aku hanyalah sampah. Bagi mereka yang merasa intelek, aku hanyalah pembual. Bagi mereka yang merasa suci, aku hanyalah kotoran. Bagi mereka yang merasa terhormat, aku tak lebihnya seperti orang jalanan. Bagi mereka yang merasa pernah mengenalku, aku sepertinya sudah tak ada. Namun diantara semua anggapan yang pernah ada, semua tentang aku ada karena anggapan-anggapan yang pernah ada......
Data Lengkap
|
Tulisan Terdahulu |
|
Arsip |
|
Links |
|
Facebook |

|
|